ayeuna tabuh

Selasa, 10 November 2015

Bobotoh - Budaya dan Euforia

Parade Persib Juara Piala Presiden yang dilaksanakan pada tanggal 25 Oktober 2015 mendapat perhatian langsung dari Kang Emil selaku Walikota Bandung. Ia menghimbau kepada seluruh elemen masyarakat (khususnya Bobotoh) yang akan mengikuti agar mentaati beberapa poin yang telah disarankan. Di antaranya :

1. Tidak boleh melanggar lalu lintas.
2. Tidak boleh merusak fasilitas kota.
3. Tidak boleh sweeping mobil plat apapun.
4. Tidak boleh buligir, dan
5. Tidak boleh gurang-gerung knalpot.

Alasan Kang emil membuat beberapa poin tersebut agar terciptanya suasana yang kondusif saat parade berlangsung. Keamanan dan kenyamanan masyarakat menjadi hal yang sangat dipentingkan oleh Kang Emil dan warga Jawa Barat. 

Dalam budaya Sunda, terdapat sebuah peribahasa leuleus jeujeur liat tali yang dimaknai bahwa kita harus bersikap adil dan penuh pertimbangan dalam menyikapi situasi atau persoalan agar kita menentukan keputusan secara bijak. Ya. Tidak ada yang diuntungkan dan tidak pula ada yang dirugikan. Semuanya harus merasakan euforia kebahagiaan dan juga kenyamanan. Saya melihat bahwa keputusan yang Kang Emil himbaukan merupakan salah satu pemaknaan yang tertuang dalam peribahasa tersebut. Saya percaya bahwa Kang Emil menyadari bahwa tidak semua masyarakat ikut dalam kemeriahan ini. Juga tidak semua warga yang berada di lingkungan Bandung dan sekitarnya larut dalam kemenangan. 

Poin-poin yang telah dihimbaukan kepada masyarakat merupakan salah satu bentuk cerminan dan kesadaran Kang Emil terhadap lunturnya etika masyarakat Sunda. Bagaimana tidak? Tahun lalu saja, saat Persib menjuarai Indonesia Super League, banyak hal-hal merugikan yang dilakukan oleh segelintir orang. Seperti Vandalisme. Sweeping mobil berplat B dan kebisingan dari suara knalpot. Bahkan ada beberapa orang yang entah sadar atau tidak, ia telanjang bulat tanpa sehelai benangpun. Yang alhasil membuat masyarakat yang melihatnya merasa risih dan jengkel. Dan yang sangat disayangkan hal negatif itu terulang kembali pada parade tahun ini. Padahal seharusnya di zaman modern ini, kita pun harus menjaga kewarasan agar tetap modern. Bobotoh yang dikenal santun, soméah hadé ka sémah pun sepertinya hilang saat rasa bangga mereka dilampiaskan secara berlebihan, yang sebenarnya tidak begitu perlu untuk direpresentasikan kepada khalayak umum warga Jawa Barat, misalnya: melanggar lalu lintas, gurang-gerung motor dari pagi hingga sore, atau menghadang mobil berplat B dan meneriakinya bahkan mencoret-coret. Hal-hal inilah yang semestinya tidak dilakukan oleh oknum yang sejatinya mencoreng citra bobotoh. Karena tujuan arak-arakan pemain Persib adalah membagi kebahagiaan visual secara dekat kepada masyarakat.

Pembenahan karakter memang menjadi PR bagi semua orang. Karena hakikatnya manusia mahluk yang (bisa) khilaf. Bobotoh yang mayoritas urang Sunda pun harus teguh untuk berkarakter Nyunda sebagai nilai yang dipegang. Seperti dalam buku Kasundaan Rawayan Jati – Hidayat Suryalaga; bahwa rasa kemanusiaan harus menjadi penanda moral kita sebagai Urang Sunda. Memang tidak semua bobotoh berkarakter arogan dan merugikan, banyak hal positif dari Bobotoh yang patut dicontoh. Baik dari kebersamaannya dan hal-hal kreatif lainnya. Atau secara kemanusiaan seperti penggalangan dana untuk bencana kebakaran hutan di Riau. Setidaknya silih asah-silih asih-silih asuh harus selalu dipraktekan oleh bobotoh sebagai suporter yang santun. Karena wujud lain dari silih asah-silih asih-silih asuh adalah saling mengingatkan antarbobotoh agar tidak mencedrai nilai Kasundaan dan kenyamanan secara umum.

Peribahasa leuleus jeujeur liat tali pun harus dipahami dan diaplikasikan juga oleh bobotoh yang mayoritas berkultur Sunda. Jika peribahasa tersebut diaplikasikan, saya percaya warga yang sedang sakit dan diam di rumah tidak akan mengeluh jika saja tidak ada konvoi yang mengganggu, Karena bobotoh akan sadar bahwa gurang-gerung knalpot itu nyatanya mengganggu. Atau masyarakat yang akan berpergian pun tidak akan begitu kesalnya jika saat dalam perjalanan ia terpaksa berhenti oleh sekelompok orang yang menghentikan lajunya lalu lintas dengan menyimpan motornya di tengah jalan kemudian berjoget ria di tengah kemacetan. Dan dari aplikasi leuleus jeujeur liat tali pun akan menghasilkan istilah asak jeujeuhan. Dimana kualitas manusia pun terlihat dari kita menyikapi setiap hal, khususnya bobotoh sebagai suporter yang ikut merayakan kemenangan bersama masyarakat. Di sini lah pintu suksesnya sebuah acara ini. Kesadaran bobotoh akan kondusifitas yang sudah ia pahami sedari awal, kenyamanan masyarkat baik yang terlibat maupun tidak terlibat dan kepercayaan Kang Emil sebagai penanggung jawab kegiatan. Banyak kondisi-kondisi dari masyarakat setempat yang harus dipertimbangkan. Maka dari itu, sebagai urang Sunda yang santun. Budayakan kembali silih asah-silih asih-silih asuh demi menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi seluruh masyarakat baik yang merayakan maupun yang tidak merayakan. Jelas sudah bahwa poin-poin yang dihimbaukan oleh Kang Emil merupakan sebuah bentuk perwujudan dari sikap adil dalam segala hal. Apalagi Kang Emil sekarang berperan sebagai Bapaknya warga Bandung.

Semoga, untuk parade kemenangan berikutnya bobotoh tidak ada lagi yang merugikan pihak-pihak tertentu. Bobotoh sudah berpikir cerdas. Dan Bobotoh menjadi salah satu suporter yang menjadi kebanggaan warga Jabar dan contoh untuk suporter lain. Semoga Kang Emil bisa lebih bercermin jikalau nanti Persib kembali juara (aamiin), kegiatan Parade bisa dengan hal yang bisa meminimalisir keluhan dari masyarakat yang tidak ikut serta seperti longmarch atau Bobotoh dan masyarakat hanya cukup menunggu sang jawara melewati wilayahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar