ayeuna tabuh

Kamis, 05 Februari 2015

Belajar itu mengapa tidak



Hari senin terdapat senja yang indah di langit Jatinangor. Ada temaram membias pada tiang dan pohonan. Juga pada ke-sok-an kita yang ingin mencoba menafsirkan sebuah sajak. Melaju menjemput magrib. Dengan robusta dan secarik kertas. Di lesehan alam. Tempat kita memulai, meski sangat jauh berbeda dengan orang lain yang begitu lihai dalam menelaah. Tapi matahari tetaplah sama ; menyinari kalian dan kita.Saat duduk, fokus mata kita tertuju pada sajak karya Teddi Muhtadin. Seorang kritikus sastra sekaligus sastrawan yang kami mengenalnya dia adalah sosok yang romantis. Romantis pada tatapannya tentang kehidupan. 

Perjalanan 

Setelah pangalengan 
Katamu
Kita hanya pelancong
Memandang warna warni
Lantas lena
Disaput kabut
Kubilang tidak
Sebab ada
Hijau nafas teh dan rumputan
Mengendap
Di benak usia kita 

(Sajak di atas merupakan sajak pertama dari kumpulan sajak yang diberi judul “Kampung Halaman”).

Setelah Agung membacakan sajak itu dengan sedikit hati-hati. Kemudian aku menyuruh kawanku menikmati baris perbaris. Kemudian kita harus berbagi rasa. Karena kita mencicipi dengan bumbu yang berbeda.“Jangan takut menafsirkan sebuah karya. Tak ada benar dan tak ada salah. Karena kita sedang belajar. Sekali lagi, kita hanya kita yang ingin belajar. Tak apa jauh dari ungkapan sebenarnya. Karena hanya Teddi sendiri yang tahu apa yang ia sajikan”. 

Kemudian Anton memulai. Dia berkata bahwa menurutnya Sajak ini adalah tentang sebuah keberanian. “Ini menceritakan tentang seorang tinggal di Pangalengan yang pada saat itu masih indah. Tetapi setelah sekian lama ia melancong dan kembali ke Pangalengan. Terlihat ada yang berbeda, sangat berbeda. Namun ia tidak takut. Karena pengalaman (hijau nafas teh dan rumputan) tak akan hilang dan akan terus menemani (mengendap pada usia kita)”.

Wow tafsiran yang sangat bagus dari anton. Disambut senyum kawan sambil menyodorkan kopi. Kemudian Asep Tating sudah siap sambil berkata “aku mau menafsirkan, Kang”. Lalu semua terfokus pada matanya. “Menurut saya, sajak ini menceritakan tentang seorang yang pernah singgah di Pangalengan, indah dan sangat indah (memandang warna-warni). Sayangnya, disisa umur, ia tidak bisa berkunjung lagi. Akan tetapi ia masih bisa membayangkan bagaimana indahnya tempat itu yang kini jadi kenangan (sebab ada hijau nafas teh dan rumputan mengendap di benak usia kita). Semua tertegun dan kemudian tersenyum tanda kagun akan penafsirannga. Good, Ting!

Sebelum Uwes mengacungkan tangannya. Saya sedikit berkata ; “sajak itu bisa ditafsirkan langsung menurut diksi yang ada. Ada pula yang bermuatan majas atau penganalogian yang secara tidak langsung penulis bisa saja menyampaikan beberapa pesan lewat kata yang berkaitan, atau analogi lainnya yang intinya membuat pembaca agar mendalami, tidak ‘stak’ pada diksi. Jadi boleh diungkapkan dengan hal lain. Menurut sayaaa itu juga. Tapi entah benar atau salah menurut para ahli. Yang penting mencoba, betul?” Ucap saya disambut tawa.

Kemudian Uwes berbagi tafsirannya. “Gini Kang. Kata Uwes mah ini teh tentang perjalanan hidup kita (penulis) ketika muda yang mengalami masa susah dan masa-masa senang. Nah, di sisa umur (tua), ia ingin mengalami masa-masa tersebut. Akan tetapi mengenangnya hanya lewat impian (harapan). Dan tinggal kenangan”. Semua terangguk-angguk tanda mengerti dan mengiyakan. “Bener juga nya” kata Tating sambil menggaruk kepalanya. Kopi tinggal setengah. Senja pun siap disapu malam. Tapi mentari masih nampak ubun- ubunnya.

Agung-pun berbagi rasa. “Jika dianalogikan, mungkin “pangalengan” disini sebagai “dunia”. Dan kita hanyalah pelancong yang telah melihat banyaknya “warna-warni” hidup. Semua hilang setelah kita meninggalkan dunia itu (disaput kabut). “Kubilang tidak”. Keindahan yang sesungguhnya akan ada di akhirat kelak”.

Waw. Lezat sekali resep dari Agung. Semua tersenyum dan tertawa. Kemudian kita semua mendiskusikan lagi sajak itu. Baris perbaris. Tentang analogi, atau sudut pandang, atau semiotik, atau struktur. (TAPI JUJUR KAMI SEMUA BELUM MENGETAHUI APA SAJA YANG HARUS DIKAJI DALAM PUISI. KAMI HANYA BERMODAL KEINGINAN MENGKAJI). Dan kita semua tertawa, tertegun, terangguk dan termenung.

Setelah cahaya matahari hampir dilahap gelap. Aku sedikit menafsirkan tentang sajak ini. Yang aku rasakan ketika membaca sajak ini begitu motivatif. Sajak “Perjalanan” ini adalah menggambarkan kita sebagai mahasiswa yang sedang melakukan perjalanan. “Pangalengan” aku analogikan sebagai kampus. “Kita hanya pelancong” itu adalah kita, mahasiswa yang sedang berpetualang dalam dunia kampus yang sudah menerawang jauh bahwa segala pekerjaan “memandang warna-warni” itu bisa diraih dengan selembar ijazah dan memang kita “lantas lena disaput kabut” terlena oleh selembar harapan tersebut. Tapi penulis berkata. “Kubilang tidak”. Hey tidak. Bukan. Tidak hanya ijazah! “Sebab ada hijau nafas teh dan rumputan” sebab banyak skill dan pengalaman dan kekreatifan kita “mengendap di benak usia kita” yang masih menempel dan setia terasah diusia kita. Kita itu MAHA. Perbanyaklah pengalaman dan kekreatifan juga hal lainnya seperti yang disajikan oleh “teh dan rumputan”. Dan perjalanan-pun akan terasa indah jika kita banyak membawa bekal. Karena melancong, tak hanya menatap rupa warna. Tapi, menikmati betapa udara itu setia membelai otak kita.

Kemudian magrib datang dengan adzan berkumandang. Semoga, kajian ini bisa terus mengakar dan bahkan menjadi rimbun. Bangunlah siklus yang setidaknya membawa bekal, kawan. Kalian adalah orang yang akan membawa perubahan. Bangunlah. Semangat.
Bandung 05 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar