ayeuna tabuh

Senin, 15 September 2014

Malam Yang Absurd


Malam ini saya kembali lembur untuk menyelesaikan beberapa dokumen yang harus diprint. Inisiatif laki-laki sudah saya lakukan ; seduh kopi, beberapa batang rokok, dan iringan musik 'Sisir Tanah'.
Sambil menunggu banyaknya kertas yang diwarnai oleh printer. Sisir Tanah yang membuat saya tidak mengantuk. Karena biusan flute yang diiringi renyahnya gitar acooustic yang sesekali menggelitik. Juga absurdnya sajian lirik yang membuat kening saya berkerut beberapa kali meski di akhiri dengan mulut sedikit senyum. Kesederhanaan musik menjelma kesempurnaan yang begitu terasa bagai aroma mocacino yang sangat harum. Lagu 'Bebal' berputar dan memukul dan serentak pikiran saya terbang menggambarkan manusia-manusia bebal yang tak tahu diuntung seperti dalam lirik 'jika bumi adalah ibu, kita manusia memperkosa ibunya'. Mungkin inilah naluri manusia. Memperkosa alam (Ibu) padahal ia memberi kehidupan untuk Kita. Padahal ilmu yang diturunkan agar menjaga bumi dari kerusakan sebagimana yang dilantunkan dalam beberapa bait terakhir 'ada tak ada manusia mestinya, pohon pohon itu tetap tumbuh'. Dilanjut lagu kedua 'Kita Mungkin' yang begitu membius mewakili perasaan manusia yang dimetaforakan pada alam. Universalisme lagu ini bisa pula dinikmati untuk manusia yang sedang dilanda kasmaran. Juga bercerita mengenai keihklasan. Seperti pada 'jika kau dendam, aku adalah damai, jika kau dosa aku sebagai doa'. Lagu ini membuatku sedikit terkantuk. Karena merdu tentunya.

srrruuuuttttttt. Ahhh
srek srek, pprrrtttt. fuihhhh

Kopi kunikmati sebelum lagu berikutnya.
Percikan api keluar dari pemantik. Nikmatnya.

Terdengar dua orang membaca puisi. Orang kesatu begitu cepat bagai dikejar waktu. Seorang lagi begitu syahdu lemah gemulai. Ya ! 'Konservasi Konflik'. Lagu yang paling memikat pendengaranku. Siklus manusia yang absuuurrrddddd. Amarah yang dituangkan dalam alunan folks yang membius. Ada bait yang nikmat didengar sebelum kembali Ia membaca puisi terakhir. 'Kita memaku kesibukan dan mati'. Disambung dengan beberapa orang membaca puisi. Menusuk-nusuk telinga ketika Saya mendengarnya. Sambil menikmati hisapan demi hisapan, 'memandikan kamar mandi, rajawali butuh teman yang lucu-lucu'benar-benar menghangatkan malam ini.

ngek ngek ngek
jleg jleg jleg

rupanya kertas habis.

acooustik dan flute bersatu bagaikan malam dan bintang, kopi dan rokok, hati dan pikiran, jiwa dan raga. Irama ini membuatku begitu terhipnotis. mungkin inilah 'lagu wajib' yang wajib didengarkan oleh pendengar. Mengenai rasa yang pernah setiap orang alami. Menggambarkan apa yang seharusnya terjadi, akan tapi dalam lagu ini keharusan itu sepertinya tidak berlaku, bahkan berakhir dengan tragis. 'Yang wajib dari hati adalah kata , yang wajib dari kata adalah tanya , yang wajib dari tanya adalah kita, yang wajib dari kita adalah cinta, yang wajib dari cinta adalah mesra, yang wajib dari mesra adalah rasa, yang wajib dari rasa, adalah luka'. Mungkin inilah hidup, Kita terkadang tak mengerti, ya. Absurd.
Angin di luar bersiul menabrak pepohonan juga menerbangkan debu-debu. Begitupunprinter mondar-mandir berkrya melukis kertas kosong. Aku bermetafora bagai lagu 'Perahu Kertas'. Bait-bait metafora berkerumun berlomba dalam lagu ini yang mengalnukan'pertunjukan malam seperti perahu kertas'.

Kemarahan yang dituangkan dalam seni akan sangat terasa. Lagu 'Pidato Retak' mungkin mewakili masyarakat golongan bawah yang sudah muak terhadap janji yang dipidatokan oleh manusia bermuka tebal dan pengumbar serapah. Puisi yang terasa menampar memang mewakili Kita seakan mulut Kita lah yang menyerukannya. 'Doa diaktifkan harapan diaktifkan janji palu diaktifkan. Hey !! ada ranjang yang masih goyang. Alat kelamin dinonaktifkan puisi dicetak rapi mahasiswa mogok makan nasi diaduk dengan air mata sepagi itu sarapan api. TUAN DAN NYONYA BELAJAR LOGIKA SUDAH SAMPAI MANA?'. Kekesalan yang dibungkus melalui musik membuatnya begitu menarik. Juga mencabik :)

Tak terasa waktu sudah jam tiga pagi. Fajar menjelang. Namun printer masih asyik berlari. Mata mulai sayu. Tangan mulai lemas. Kopi mulai dingin dan kembali kunyalakan pemantik. Terdengar sayup-sayup lantun pelan mendatangkan mimpi dari lagu terakhir yang berjudul 'Lagu Baik'. Sepertinya judulnya. Terdapat lirik yang memotivasi agar pikiran tetap tersadar sampai tugas selesai. 'Seumpama sedih, hidup memang tugas manusia, seumpama lelah, masih tersisa banyak waktu, menjelmakan mimpi, menggerakan kawan, mendatangkan damai'. Ya kita harus setuju menerima hidup ini. Kita harus berani menghadapi kehidupan. Nikmatilah segala keunikan di Bumi ini. Seperti Kita sedang menikmati ke-absurd-an dengan hangat moccacino dan kehangatan lainnya.

Ngek
ngke
jleg jleg jleg

aduh kertas habis lagi.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar